Tuesday, January 10, 2012

Pisau sang pembunuh Chapter 4

Ruangan rapat sub direktorat kriminal umum berbentuk kubus dengan luas sepuluh kali sepuluh meter kuadrat. Ruangan itu terdiri dari satu meja besar  berbentuk bulat  yang dikelilingi duapluh kursi. Ada white board dan LCD untuk memudahkan penerangan kasus. Ruangan rapat itu biasa digunakan untuk gelar kasus khusus dan rapat mingguan yang mebahas kerja subdirektort kriminal umum.
Mereka berlima di ruangan itu, Armin Maulana, Alfred, Saiful dan Adham. Maulana segera memutuskan Ketiga polisi piket yang mendatangi lokasi kejadian pertama kali yang membantu dia menjadi tim penyidik, kelima polisi itu dia pilih karena sudah tahu riwayat kasus. Setiap ada pembunuhan atau kasus besar, kepolisian akan membentuk tim penyidik yang bertugas untuk mencari hal-hal yang dan membawa penyidik ke tersangaka, seperti mencari bukti menanyai saksi yang terlibat dan rangkain penyidikan lainnya. Setiap tugas polisi diatur oleh undang-undang dan harus bertindak sesuai Operasional standart sistem. Dana dan waktu juga menjadi perhatian pihak kepolisian dalam mengurus kasus pembunuhan.  Kepolisisan biasanya mematok sejumlah dana untuk sebuah kasus pembunuhan dan biasanya tiga bulan adalah waktu yang diberikan untuk mengusut kasus itu. Tetapi dalam kausu Puply City, Maulana tidak yakin hanya akan memakan waktu selama tiga bulan.
“Baiklah, Kau akan bekerja bersama tiga orang polisi ini, Maulana?” Armin membuka percakapan. Maulana menatap ketiga polisi yang duduk di sampingnya, Hanya Alfred yang masih kelihat bugar Saiful dan Adham kelihatan mengantuk. Maulana memaklumi hal itu mengingat mereka piket sejak pukul dua belas malam. Sekarang sudah pukul sepuluh dan piket mereka berakhir pukul dua belas nanti. Dia berharap gelar kasus ini tidak lama.
“Iya, Pak.Mereka telah mengenal kasus ini dengan baik. Saya rasa mereka orang pas.” Jawab Maulana. Armin mengangguk, Alfred sendiri senang terlibat kasus ini, begitupun Adham dan Saiful hanya saja mereka lelah dan mengantuk dan ingin segera pulang tidur.
“Baiklah, segera baca laporan yang telah di terima dari hasil outopsi mayat.” Kata Armin kemudian. Maulana memberi isyarat kepada Alfred untuk memulai.
“Korban berjenis kelamin perempuan. Kematiannya terjadi pada pukul  dua lewat empat puluh lima menit dini hari. Kematian terjadi karena Hematoraks atau pendarahan hebat yang terjadi di rongga paru. Pendarahan terjadi karena tusukan menggunakan benda tajam di dada kiri korban sebanyak kurang lebih delapan kali. Terdapat luka yaitu di kemaluan korban.” Alfred menarik napas sebentar. “Klitoris korban hancur akibat tusukan benda tajam, Labiya minor dan mayornyapun hancur. Pelaku juga menusukan pisau di lobang vagina korban.”  Alfred berhenti lagi. Dia menarik napas panjang. Maulana, Armin, Saiful dan Adham juga ikut menarik napas panjang.
“Mengerikan!” Itu kata yang mampu diucapkan Armin. Dia membayangkan seseorang memasukan benda tajam ke dalam lubang vagina seorang perempuan.
“Pelakunya pasti gila.” Sambungnya lagi, lalu memberikan isyarat kepada Alfred untuk melanjutkan laporannya.
“Terdapat luka sayatan di betis kanan dan kiri koraba, Di daerah pinggul dan paha.” Alfred menyelesaikan laporannya. Kelima polisi itu terdiam bahkan tak tampak lagi ada kantuk di wajah mereka.
“Bagaimana laporan hasil olah TKP kalian?” Armin bertanya pada Maulana. Maulana mengambil buku yang ada didepannya.
“Korban bernama Honey berusia duapuluh enam tahun. Pembunuhan terjadi di lantai tiga kamar nomor 306 wisma Rose pada pukul dua dini hari. Korban adalah PSK yang bekerja di wisma tersebut. Kami telah berhasil memastikan korban dibunuh pelaku menngunakan benda tajam. Semua benda yang ada di kamar korban sudah diserahkan ke tim forensik untuk diteliti. Sejauh ini kami hanya bisa memastikan pelaku datang menggunakan lift atau tangga di wisma Rose, Modusnya adalah berpura-pura menjadi pelanggan masuk ke kamar korban dan membunuh korban di kamar korban sendiri.” Maulana menjelaskan. Armin menyimak dengan penuh perhatian.
“Bagaimana dengan saksi? Sudahkah kalian menetukan tersangka dari saksi-saksi yang ada?” Dia bertanya lagi. Maulana memandang pada Adham yang bertugas untuk menanyai saksi.
“Saksi yang ditanyai ada lima orang. Puspita lima puluh enam tahun, pemilik wisma Rose yang melaporkan adanya pembunuhan, Jingga dua puluh tahun teman korban sesama PSK, Lestari Duapuluh lima tahun PSK teman korban yang bersamanya sejak tadi pagi, Joko Satpam yang bekerja di wisma Rose yang selalu menjaga keluar masuknya tamu di Wisma Rose Dan Sumi petugas kebersihan di wisma Rose.” Adham menjelaskan. Armin mengerutkan dahi,
“bagaimana dengan pengunjung yang tidur dengan korban sebelum kematiannya? Apakah tidak ada daftar tertulis?” Katanya kemudian.
“Ada tiga orang pelanggan yang dilayani oleh Korban sebelum dia mati, Pak. Yang Pertama adalah Seorang pengusaha bernama Bayu, Seorang pengusaha juga bernama Ratno dan yang terkahir anak dari Gubernur wedangan Johan.” Jawab Adham. Armin, Maulana dan Alfred namapak terkaget.
“Anak Gubernur?” Tanya  Maulana kurang yakin. Adham mengangguk.
“Ini menurut perkataan Joko si Satpam, pak!” Katanya kemudian. Adham mencelos. Kasus ini kasus besar. Dia yakin media akan berpesta pora.
 “Ini bukan berita bagus untuk Gubernur kita.” Kata Armin. Maulana menyetujuinya

**
Ervita dan Moris memasuki kompleks POLDA tepat pukul dua belas siang. Tidak lupa mereka menunjukan kartu pers mereka di pos penjaga di depan pintu pagar POLDA yang dijaga ketat. Mereka memarkir mobil mereka di halaman tempat parkir POLDA yang luas. Ada banyak mobil wartawan yang terparkir di situ. Wedangan punya tiga harian umum dan Ervita mengira wartawan yang berkumpul di situ bukan hanya berasal dari tiga harian itu. Rupanya kasus pembunuhan ini telah mengemparkan koran dari luar kota bahkan beberapa mobil stasiun televisi juga terparkir di depan POLDA itu. Mereka melangkah menuju lobi gedung A POLDA tempat Konferensi pers dilaksanakan. Ada sekita dua puluhan wartawan di situ. Para wartawan itu mengerubungi Seorang polisi yang sedang memberikan keterangan. Ervita mengenali polisi gagah dan tampan itu. Dia adalah Maulana kepala Unit II Sub divisi kriminal POLDA Wedangan. Dia sering melihat Maulana apabila meliput kasus pembunuhan. Segera dia keluarkan alat perekam sebuah notes dan pulpen, Moris Segera menyiapkan Kameranya dan berjalan di belakang Ervita. Mereka segera berbaur bersama wartawan yang lain.
“Bisakah pihak kepolisian menjelaskan bagaimana kronologi pembunuhan ini?” seorang laki-laki bersuara.
“Pembunuhan terjadi tadi pagi pukul tiga pagi waktu indonesia bagian barat. Korban adalah Honey 26 tahun seorang PSK di wisma Rose” Terang Maulana singkat
“Apa alat yang digunakan pelaku untuk membunuh korban?” tanya seorang wartawan lagi
“Korban ditusuk dengan benda tajam!” jawab Maulana
 “Apakah Polisi sudah menentukan saksi? Apakah dari keterangan saksi-saksi itu sudah dapat disimpulakan siapa tersangkanya?” itu suara Elvira. Semua wartawan menoleh ke arahnya termasuk Maulana. Maulana mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan itu. Dia memandang lekat sosok perempuan berusia duapuluh limaan tahun itu. Matanya menatap mata Maulana tegas. Hal yang paling dibenci Maulana dari wartawan adalah mereka menguasai sistem kerja polisi.. Sepertinya selain pelaku, Maulana juga harus berhati-hati dengan wartawan. Meski dia terpukau tatapan mata wartawan perempuan itu.
“Sampai sekarang kami belum bisa mematikan siapa pelaku pembunuhan ini. Untuk sementara kami telah mengumpulkan para saksi yang terlibat.” Kata Maulana.
“Siapa sajakah para saksi yang terlibat? Apakah hanya teman korban sesama PSK ataukah ada saksi lain seperti pelanggan yang terakhir kali memakai korban?” Ervita Berkata lagi kepada Maulana. Terdengar gemuruh diantara kerumunan wartawan itu. Moris menyikut Ervita.
“Dikau sungguh gigih, Non!” bisiknya pada Ervita. Ervita tidak menguberis dia menatap Maulana tajam. Maulana gemas pada wartawan cantik dan cerdas itu.
“Kami telah mengumpulkan tujuh orang saksi. Untuk sementara saksi-saksi itu tidak ingin dipublikasi. Saya harap Anda-Anda sebagai pemegan profesi berkode etik mengerti.” ” Jawabnya dan tersenyum geli ketika melihat Ervita yang tidak puas.
“Kapan kami akan mengetahui para saksi yang terlibat dalam kasus ini?” Ervita semakin ngotot. Maulana memandang perempuan itu lagi tajam, dan biasanya orang akan ngeri menatap tatapan tajamnya itu. Tetapi Ervta sama sekali tidak bergeming.
“Ketika semua saksi sudah diatanyai akan kami sampaikan.” Kata Maulana. Ervita mengangguk puas.
“Moris, Ayo kita ke puply City.” Bisik Ervita ke rekannya. Moris menatap Ervita bingung.
“Kita tak boleh ke sana, Vita. Kamu sudah tahu itu kan?”
“Iya, Kita harus mendapatkan para saksi itu.” Kata Ervita. “Ayo cepat!” Kata Ervita lalu keluar dari kerumunan Wartawan. Moris mau tak mau mengikuti langkah rekannya itu. Sementara Maulana masih terus diberondong pertanya-pertanyaan.
“Apakah ada upaya khusus dari POLDA untuk mengani masalah ini?” Seorang wartawan lain berkata
“Kami telah membentuk Tim Penyidik dan Penyelidik. Saya sendiri sebagai ketua tim” Jelas Maulana
“Bagaimana dengan Perempuan yang tinggal di asrama ini? Kemana meraka di pindahkan?”
“Kira-kira kapan polisi bisa mengungkapkan kasus ini?”
“Apakah kasus ini ada hubungannya dengan peralihan issue?”
“Apakah dengan adanya kasus ini Puply City ditutup?”
Berbagai pertanyaan muncul membuat Maulana kerepotan dan pusing. Wartawan selalu saja ingin tahu. Kembali seraut wajah manis wartawan cantik dan cerdas tadi menghampiri. Maulana menyukai tatapan matanya. Dia mencari sosok perempuan itu di kerumunan wartawan, perempuan itu telah hilang.
*
“Sebagai perempuan kita harus mempunyai keinginan yang kuat. Dan ingat kita memiliki hak yang sama dengan para laki-laki.” Martha berkata lantang. Dia tengah berdiri diantara ratusan Ibu-ibu PKK. Hari ini kembali dia memberikan ceramah tentang ‘Menjadi Wanita Tangguh” untuk para perempuan-perempuan itu. Martha berusia empatpuluh tujuh tahun.  Tingginya semampai dan masih memiliki badan yang langsing. Sisa-sisa kecantikan masa mudanya tergambar jelas di wajahnya yang dibingkai potongan rambut pendek yang dicat merah. Martha adalah Istri Yusuf, Gubernur Wedangan. Sebagai ibu gubernur , Martha juga tak kalah sibuk dari suaminya. Dia dikenal dengan sebuttan Ibu Kartini dari Wedangan karena usahanya memperjuangkan hak wanita. Rakyat wedangan sangat mencintai Ibu gubernur mereka yang baik hati dan cantik itu. Martha terlahir dari keluarga kaya raya, Banyak issue yang beredar bahwa dipilihnya Yusuf sebagai Gubernur adalah akibat pengaruh ayah Marta.
“Baiklah! Saya rasa sudah waktunya cerama saya diakhiri. Saya harap ibu-ibu sekalian dapat memetik hal-hal yang telah saya sampaikan tadi.” Kata Martha kemudian. Ibu-ibu yang berkumpul di situ bertepuk tangan meriah. Dia melangkah turun dari podium dan kembali ke kursinya ketika tiba-tiba teleponnya berdering. Johan anaknya muncul di Layar. Martha berjalan keluar ruangan dan segeramengankat telepon. Johan tak pernah menelponnya kecuali bila sedang ada masalah penting.
“Ada apa sayang?”
“Ma, Johan dalam masalah. Johan akan menjadi saksi pembunuhan pelacur di Puply City
“Apa maksudmu johan? Pembunuhan apa? Apa yang kau lakukan di Puply city?”
“Maaf, Ma. Johan selalu mengunjungi wisma rose setiap hari Jumat. Selalu memakai pelacur di sana?”
“Apa maksudmu Johan?”
“Maaf Ma. Johan tak ber...
Martha mematikan Teleponnya. Dia terduduk lesu di kursi. Anak laki-laki semata wayangnya sering pergi ke tempat pelacuran. Habislah sudah, gagal dia menjadi Ibu. Pantas anaknya itu tak pernah membawa perempuan ke rumah. Dia lebih menikmati waktu bersama pelacur-pelacur itu. bagaimana kalo anaknya yang mambunuh pelacur itu? Bagaimana tanggapan masyarakat jika tahu anak Wali kota sering ke tempat pelacuran? Martha benar-benar bingung. Mungkin Shoping satu-satunya cara menghilangkan kebingungan ini.
***
(1697 kata)

2 comments:

  1. Wow sadis dan serem mbak... Kasus rumit untunglah aku bukan polisi he..he... salam semangat! :)

    ReplyDelete