Tuesday, January 10, 2012

Pisau sang pembunuh Chapter 4

Ruangan rapat sub direktorat kriminal umum berbentuk kubus dengan luas sepuluh kali sepuluh meter kuadrat. Ruangan itu terdiri dari satu meja besar  berbentuk bulat  yang dikelilingi duapluh kursi. Ada white board dan LCD untuk memudahkan penerangan kasus. Ruangan rapat itu biasa digunakan untuk gelar kasus khusus dan rapat mingguan yang mebahas kerja subdirektort kriminal umum.
Mereka berlima di ruangan itu, Armin Maulana, Alfred, Saiful dan Adham. Maulana segera memutuskan Ketiga polisi piket yang mendatangi lokasi kejadian pertama kali yang membantu dia menjadi tim penyidik, kelima polisi itu dia pilih karena sudah tahu riwayat kasus. Setiap ada pembunuhan atau kasus besar, kepolisian akan membentuk tim penyidik yang bertugas untuk mencari hal-hal yang dan membawa penyidik ke tersangaka, seperti mencari bukti menanyai saksi yang terlibat dan rangkain penyidikan lainnya. Setiap tugas polisi diatur oleh undang-undang dan harus bertindak sesuai Operasional standart sistem. Dana dan waktu juga menjadi perhatian pihak kepolisian dalam mengurus kasus pembunuhan.  Kepolisisan biasanya mematok sejumlah dana untuk sebuah kasus pembunuhan dan biasanya tiga bulan adalah waktu yang diberikan untuk mengusut kasus itu. Tetapi dalam kausu Puply City, Maulana tidak yakin hanya akan memakan waktu selama tiga bulan.
“Baiklah, Kau akan bekerja bersama tiga orang polisi ini, Maulana?” Armin membuka percakapan. Maulana menatap ketiga polisi yang duduk di sampingnya, Hanya Alfred yang masih kelihat bugar Saiful dan Adham kelihatan mengantuk. Maulana memaklumi hal itu mengingat mereka piket sejak pukul dua belas malam. Sekarang sudah pukul sepuluh dan piket mereka berakhir pukul dua belas nanti. Dia berharap gelar kasus ini tidak lama.
“Iya, Pak.Mereka telah mengenal kasus ini dengan baik. Saya rasa mereka orang pas.” Jawab Maulana. Armin mengangguk, Alfred sendiri senang terlibat kasus ini, begitupun Adham dan Saiful hanya saja mereka lelah dan mengantuk dan ingin segera pulang tidur.
“Baiklah, segera baca laporan yang telah di terima dari hasil outopsi mayat.” Kata Armin kemudian. Maulana memberi isyarat kepada Alfred untuk memulai.
“Korban berjenis kelamin perempuan. Kematiannya terjadi pada pukul  dua lewat empat puluh lima menit dini hari. Kematian terjadi karena Hematoraks atau pendarahan hebat yang terjadi di rongga paru. Pendarahan terjadi karena tusukan menggunakan benda tajam di dada kiri korban sebanyak kurang lebih delapan kali. Terdapat luka yaitu di kemaluan korban.” Alfred menarik napas sebentar. “Klitoris korban hancur akibat tusukan benda tajam, Labiya minor dan mayornyapun hancur. Pelaku juga menusukan pisau di lobang vagina korban.”  Alfred berhenti lagi. Dia menarik napas panjang. Maulana, Armin, Saiful dan Adham juga ikut menarik napas panjang.
“Mengerikan!” Itu kata yang mampu diucapkan Armin. Dia membayangkan seseorang memasukan benda tajam ke dalam lubang vagina seorang perempuan.
“Pelakunya pasti gila.” Sambungnya lagi, lalu memberikan isyarat kepada Alfred untuk melanjutkan laporannya.
“Terdapat luka sayatan di betis kanan dan kiri koraba, Di daerah pinggul dan paha.” Alfred menyelesaikan laporannya. Kelima polisi itu terdiam bahkan tak tampak lagi ada kantuk di wajah mereka.
“Bagaimana laporan hasil olah TKP kalian?” Armin bertanya pada Maulana. Maulana mengambil buku yang ada didepannya.
“Korban bernama Honey berusia duapuluh enam tahun. Pembunuhan terjadi di lantai tiga kamar nomor 306 wisma Rose pada pukul dua dini hari. Korban adalah PSK yang bekerja di wisma tersebut. Kami telah berhasil memastikan korban dibunuh pelaku menngunakan benda tajam. Semua benda yang ada di kamar korban sudah diserahkan ke tim forensik untuk diteliti. Sejauh ini kami hanya bisa memastikan pelaku datang menggunakan lift atau tangga di wisma Rose, Modusnya adalah berpura-pura menjadi pelanggan masuk ke kamar korban dan membunuh korban di kamar korban sendiri.” Maulana menjelaskan. Armin menyimak dengan penuh perhatian.
“Bagaimana dengan saksi? Sudahkah kalian menetukan tersangka dari saksi-saksi yang ada?” Dia bertanya lagi. Maulana memandang pada Adham yang bertugas untuk menanyai saksi.
“Saksi yang ditanyai ada lima orang. Puspita lima puluh enam tahun, pemilik wisma Rose yang melaporkan adanya pembunuhan, Jingga dua puluh tahun teman korban sesama PSK, Lestari Duapuluh lima tahun PSK teman korban yang bersamanya sejak tadi pagi, Joko Satpam yang bekerja di wisma Rose yang selalu menjaga keluar masuknya tamu di Wisma Rose Dan Sumi petugas kebersihan di wisma Rose.” Adham menjelaskan. Armin mengerutkan dahi,
“bagaimana dengan pengunjung yang tidur dengan korban sebelum kematiannya? Apakah tidak ada daftar tertulis?” Katanya kemudian.
“Ada tiga orang pelanggan yang dilayani oleh Korban sebelum dia mati, Pak. Yang Pertama adalah Seorang pengusaha bernama Bayu, Seorang pengusaha juga bernama Ratno dan yang terkahir anak dari Gubernur wedangan Johan.” Jawab Adham. Armin, Maulana dan Alfred namapak terkaget.
“Anak Gubernur?” Tanya  Maulana kurang yakin. Adham mengangguk.
“Ini menurut perkataan Joko si Satpam, pak!” Katanya kemudian. Adham mencelos. Kasus ini kasus besar. Dia yakin media akan berpesta pora.
 “Ini bukan berita bagus untuk Gubernur kita.” Kata Armin. Maulana menyetujuinya

**
Ervita dan Moris memasuki kompleks POLDA tepat pukul dua belas siang. Tidak lupa mereka menunjukan kartu pers mereka di pos penjaga di depan pintu pagar POLDA yang dijaga ketat. Mereka memarkir mobil mereka di halaman tempat parkir POLDA yang luas. Ada banyak mobil wartawan yang terparkir di situ. Wedangan punya tiga harian umum dan Ervita mengira wartawan yang berkumpul di situ bukan hanya berasal dari tiga harian itu. Rupanya kasus pembunuhan ini telah mengemparkan koran dari luar kota bahkan beberapa mobil stasiun televisi juga terparkir di depan POLDA itu. Mereka melangkah menuju lobi gedung A POLDA tempat Konferensi pers dilaksanakan. Ada sekita dua puluhan wartawan di situ. Para wartawan itu mengerubungi Seorang polisi yang sedang memberikan keterangan. Ervita mengenali polisi gagah dan tampan itu. Dia adalah Maulana kepala Unit II Sub divisi kriminal POLDA Wedangan. Dia sering melihat Maulana apabila meliput kasus pembunuhan. Segera dia keluarkan alat perekam sebuah notes dan pulpen, Moris Segera menyiapkan Kameranya dan berjalan di belakang Ervita. Mereka segera berbaur bersama wartawan yang lain.
“Bisakah pihak kepolisian menjelaskan bagaimana kronologi pembunuhan ini?” seorang laki-laki bersuara.
“Pembunuhan terjadi tadi pagi pukul tiga pagi waktu indonesia bagian barat. Korban adalah Honey 26 tahun seorang PSK di wisma Rose” Terang Maulana singkat
“Apa alat yang digunakan pelaku untuk membunuh korban?” tanya seorang wartawan lagi
“Korban ditusuk dengan benda tajam!” jawab Maulana
 “Apakah Polisi sudah menentukan saksi? Apakah dari keterangan saksi-saksi itu sudah dapat disimpulakan siapa tersangkanya?” itu suara Elvira. Semua wartawan menoleh ke arahnya termasuk Maulana. Maulana mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan itu. Dia memandang lekat sosok perempuan berusia duapuluh limaan tahun itu. Matanya menatap mata Maulana tegas. Hal yang paling dibenci Maulana dari wartawan adalah mereka menguasai sistem kerja polisi.. Sepertinya selain pelaku, Maulana juga harus berhati-hati dengan wartawan. Meski dia terpukau tatapan mata wartawan perempuan itu.
“Sampai sekarang kami belum bisa mematikan siapa pelaku pembunuhan ini. Untuk sementara kami telah mengumpulkan para saksi yang terlibat.” Kata Maulana.
“Siapa sajakah para saksi yang terlibat? Apakah hanya teman korban sesama PSK ataukah ada saksi lain seperti pelanggan yang terakhir kali memakai korban?” Ervita Berkata lagi kepada Maulana. Terdengar gemuruh diantara kerumunan wartawan itu. Moris menyikut Ervita.
“Dikau sungguh gigih, Non!” bisiknya pada Ervita. Ervita tidak menguberis dia menatap Maulana tajam. Maulana gemas pada wartawan cantik dan cerdas itu.
“Kami telah mengumpulkan tujuh orang saksi. Untuk sementara saksi-saksi itu tidak ingin dipublikasi. Saya harap Anda-Anda sebagai pemegan profesi berkode etik mengerti.” ” Jawabnya dan tersenyum geli ketika melihat Ervita yang tidak puas.
“Kapan kami akan mengetahui para saksi yang terlibat dalam kasus ini?” Ervita semakin ngotot. Maulana memandang perempuan itu lagi tajam, dan biasanya orang akan ngeri menatap tatapan tajamnya itu. Tetapi Ervta sama sekali tidak bergeming.
“Ketika semua saksi sudah diatanyai akan kami sampaikan.” Kata Maulana. Ervita mengangguk puas.
“Moris, Ayo kita ke puply City.” Bisik Ervita ke rekannya. Moris menatap Ervita bingung.
“Kita tak boleh ke sana, Vita. Kamu sudah tahu itu kan?”
“Iya, Kita harus mendapatkan para saksi itu.” Kata Ervita. “Ayo cepat!” Kata Ervita lalu keluar dari kerumunan Wartawan. Moris mau tak mau mengikuti langkah rekannya itu. Sementara Maulana masih terus diberondong pertanya-pertanyaan.
“Apakah ada upaya khusus dari POLDA untuk mengani masalah ini?” Seorang wartawan lain berkata
“Kami telah membentuk Tim Penyidik dan Penyelidik. Saya sendiri sebagai ketua tim” Jelas Maulana
“Bagaimana dengan Perempuan yang tinggal di asrama ini? Kemana meraka di pindahkan?”
“Kira-kira kapan polisi bisa mengungkapkan kasus ini?”
“Apakah kasus ini ada hubungannya dengan peralihan issue?”
“Apakah dengan adanya kasus ini Puply City ditutup?”
Berbagai pertanyaan muncul membuat Maulana kerepotan dan pusing. Wartawan selalu saja ingin tahu. Kembali seraut wajah manis wartawan cantik dan cerdas tadi menghampiri. Maulana menyukai tatapan matanya. Dia mencari sosok perempuan itu di kerumunan wartawan, perempuan itu telah hilang.
*
“Sebagai perempuan kita harus mempunyai keinginan yang kuat. Dan ingat kita memiliki hak yang sama dengan para laki-laki.” Martha berkata lantang. Dia tengah berdiri diantara ratusan Ibu-ibu PKK. Hari ini kembali dia memberikan ceramah tentang ‘Menjadi Wanita Tangguh” untuk para perempuan-perempuan itu. Martha berusia empatpuluh tujuh tahun.  Tingginya semampai dan masih memiliki badan yang langsing. Sisa-sisa kecantikan masa mudanya tergambar jelas di wajahnya yang dibingkai potongan rambut pendek yang dicat merah. Martha adalah Istri Yusuf, Gubernur Wedangan. Sebagai ibu gubernur , Martha juga tak kalah sibuk dari suaminya. Dia dikenal dengan sebuttan Ibu Kartini dari Wedangan karena usahanya memperjuangkan hak wanita. Rakyat wedangan sangat mencintai Ibu gubernur mereka yang baik hati dan cantik itu. Martha terlahir dari keluarga kaya raya, Banyak issue yang beredar bahwa dipilihnya Yusuf sebagai Gubernur adalah akibat pengaruh ayah Marta.
“Baiklah! Saya rasa sudah waktunya cerama saya diakhiri. Saya harap ibu-ibu sekalian dapat memetik hal-hal yang telah saya sampaikan tadi.” Kata Martha kemudian. Ibu-ibu yang berkumpul di situ bertepuk tangan meriah. Dia melangkah turun dari podium dan kembali ke kursinya ketika tiba-tiba teleponnya berdering. Johan anaknya muncul di Layar. Martha berjalan keluar ruangan dan segeramengankat telepon. Johan tak pernah menelponnya kecuali bila sedang ada masalah penting.
“Ada apa sayang?”
“Ma, Johan dalam masalah. Johan akan menjadi saksi pembunuhan pelacur di Puply City
“Apa maksudmu johan? Pembunuhan apa? Apa yang kau lakukan di Puply city?”
“Maaf, Ma. Johan selalu mengunjungi wisma rose setiap hari Jumat. Selalu memakai pelacur di sana?”
“Apa maksudmu Johan?”
“Maaf Ma. Johan tak ber...
Martha mematikan Teleponnya. Dia terduduk lesu di kursi. Anak laki-laki semata wayangnya sering pergi ke tempat pelacuran. Habislah sudah, gagal dia menjadi Ibu. Pantas anaknya itu tak pernah membawa perempuan ke rumah. Dia lebih menikmati waktu bersama pelacur-pelacur itu. bagaimana kalo anaknya yang mambunuh pelacur itu? Bagaimana tanggapan masyarakat jika tahu anak Wali kota sering ke tempat pelacuran? Martha benar-benar bingung. Mungkin Shoping satu-satunya cara menghilangkan kebingungan ini.
***
(1697 kata)

Friday, January 6, 2012

Pisau sang pembunuh Chapter Tiga

Propinsi Wedangan merupakan salah satu propinsi terbesar di Indonesia. Kota wedangan, ibukota propinsi itu luas dan padat. Jalanannya selalu penuh dengan mobil-mobil pribadi milik pekerja kantoran di gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di sepanjang jalan utama di pusat kota. Penduduk kota kebanyakan adalah pendatang, penduduk asli wedangan, banyak ditemui di daerah pinggir kota bermukim membentuk pemukiman yang asri. Kepolisian daerah Wedangan terletak di sebuah area dengan luas enam ribu meter persegi terletak di timur Wedangan lima kilometer dari pusat kota. Ada sepuluh gedung yang terletak agak menjorok ke dalam dari jalan, sejarak satu lapangan sepak bola dari gerbang yang dijaga ketat oleh polisi piket di balik halaman berpagar tembok setinggi tiga meter.

POLDA terbesar kedua setelah POLDA Metro Jaya di Jakarta ini memiliki tujuh ribu polisi yang tersebar di delapan direktorat yang dipimpin oleh Inspektur Jendral Eric Nasution. Direktorat Reskrim terletak di gedung F, gedung berlantai lima yang terletak di ujung barat kompleks, dikepalai oleh Komisari Besar Polisi Herry. Ada empat Subdirektoriat di direktorat Rekrim, antara lain; Subdit kriminal Umum, Subdit Kejahatan dan Kekerasan, Subdit remaja, anak dan wanita dan Unit Inafis (Indonesia Automatic Finger Identification System) atau Identifikasi TKP.  Masing-masing Sub direktoriat dipimpin oleh KaSubdit berpangkat komisaris Polisi. Komisaris Polisi Armin adalah Kepala sub direktoriat kriminal umum, dia membawahi empat unit yaitu; Unit I yang menangani Pencurian dan perampokan Unit II yang menagani Pembunuhan, Unit III yang menangani perjudian dan pembajakan dan Unit IV yang menangani pencemaran nama baik dan kasus-kasus serupa. Masing-masing unit dikepalai oleh polisi berpangkat Ajun komisaris polisi. Bagian Pidana Umum terletak di lantai tiga. Ada lima ruangan kecil sebagai kantor pribadi kepala bagian dan kepala unit, satu ruangan interogasi, satu ruangan penyimpanan berkas, satu ruang rapat  dan sebuah ruangan ruangan sebesar dua lapangan basket dengan sekitar lima puluh meja dan kursi yang masing-masing dipenuhi berkas dan barang-barang pribadi, dan sebuah Laptop milik para polisi yang bekerja sebagai penyidik dan penyelidik di bagian itu. 

Monday, January 2, 2012

Pisau Sang Pembunuh (Chapther dua)


Maulana sedang tertidur nyenyak, ketika handphonenya berdering. Dering handphone yang sengaja distel dengan volume keras itu selalu berhasil membuat dia terbangun. Maulana sengaja menstel volume handphone sekeras mungkin agar bisa selalu terjaga bila ditelepon saat dia tertidur nyenyak. Sebagai kepala unit II, dia harus selalu sigap dipanggil setiap ada kasus pembunuhan yang besar. Dia meraih handphone itu dan mengerutkan kening ketika melihat nama Alfred tertera di layar, dia ingat Alfred adalah polisi yang piket. Pasti ada sesuatu yang serius!

“Hallo, Inspektur.” Sapa Maulana kemudian. Dia selalu memanggil bawaan yang cerdas itu dengan sebutan Inspektur.
“Ada pembunuhan mengerikan di Puply City, Pak. Saya rasa, Bapak harus segera ke sini. Sebaiknya Bapak yang melakukan olah TKP.” Suara Alfred terdengar serius dari seberang sana. Maulana memandang jam weker di meja disamping tempat tidurnya yang besar. Dia mengernyit! Pukul lima pagi dan ada pembunuhan di Puply City. Selama sepuluh tahun dia bekerja di Reskrim POLDA Wedangan, baru kali ini dia mendengar ada Pembunuhan tempat pelacuran paling terkenal itu.
“Tiga puluh menit lagi saya tiba di TKP!” Balas Maulana kemudian. Seluruh kesadarannya telah kembali, dia bangkit berdiri dari tempat tidurnya dan melangkah ke kamar mandi. Sepuluh tahun menjadi penyidik di Reskrim membuat Maulana terbiasa dibangunkan pagi-pagi seperti ini. Kejadian dibangunkan pagi-pagi menjadi semakin sering sejak tiga tahun lalu, sejak dia menjabat sebagai kepala unit II, unit yang menangani pembunuhan di bagian pidana umum direktorat Reskrim POLDA Wedangan. Maulana berusia 34 tahun wajahnya tampan, badannya tegap dengan tinggi dan berat badan proposional. Rambutnya selalu dipangkas rapi membingkai wajah dan rahangnya yang tegas. Maulana tidak pernah memelihara kumis atau jambang, jambang dan kumis itu selalu dicukur bersih. Yang paling menonjol dari Maulana selain otaknya yang cerdas dan wajahnya yang tampan adalah matanya. Matanya yang berwarna coklat itu selalu menatap tajam siapapun lawan bicaranya. Mata Maulana sudah sering membuat tersangka mengakui pembunuhan yang mereka lakukan, mereka tidak sanggup berbohong di bawah tatapan yang tajam menghunus itu. 

Saturday, December 31, 2011

Pisau Sang Pembunuh (Chapther Satu)


BAB 1

HANYA butuh waktu sepuluh menit, mobil polisi yang membawa tiga polisi piket POLDA Wedangan sampai di gerbang masuk Puply City. Saiful polisi yang menerima telepon adanya pembunuhan yang menyetir, di samping kananya ada Alfred Polisi dari Direktorat Reskrim yang mendapat giliran piket pagi dan di bangku belakang duduk Adham polisi yang piket bersama Saiful di pos jaga POLDA Wedangan. Selalu begitu aturannya, bila ada laporan pembunuhan, maka petugas piket yang pergi meninjau. Mencari tahu siapa saksi, olah TKP jika kejadian pembunuhan itu ringan lalu memanggil petugas forensik yang bertugas mebawa mayat untuk diautopsi di rumah sakit dan kemudian membuat laporan kasus untuk diteruskan ke Reskrim POLDA. Akan tetapi jika pembunuhan itu berat seperti mutalasi atau pembunuhan dengan penganiayaan berat maka untuk olah TKP, mereka harus memanggil polisi yang lebih ahli dari Reskrim.
Mobil polisi melaju dengan kecepatan rata-rata memasuki Puply Street jalan raya lebar dan panjang yang membelah wisma-wisma berlantai tiga atau empat di kiri kanan jalan. Puply City pagi terlihat lengang, hanya sesekali mereka melihat mobil atau motor yang lewat di jalan itu, pejalan kaki yang biasanya memadati jalan juga mulai jarang. Alfred melihat jam di dashboard mobil, pukul tiga lebih tiga puluh menit dan mengerti mengapa puply street begitu lengang. Begitu melihat sebuah bangunan besar bertulis Wisma Rose yang diterangi lampu-lampu disko, Saiful segera membelokkan mobilnya masuk ke dalam halaman Wisma itu. Wisma Rose berlantai empat dan besar itu adalah salah satu wisma paling tua dan paling mahal di Puply City. Wisma Rose terletak kira-kira lima ratus meter dari gerbang masuk Puply city, warna temboknya yang merah selalu membuat orang teringat akan darah.

Wednesday, December 28, 2011

Prolog

Ini adalah Prolog Novel Januari 50K saya  -Pisau sang Pembunuh!- Jumlah kata di prolog ini tidak akan di hitung di 50.000 kata nanti heheh :-)
Prolog

Dia berjalan menyusuri lorong lantai tiga wisma Rose dengan pelan. Tangan kanannya memegang sebilah  pisau. Pisau itu indah, gagangnya  terbuat dari perak. Dia membeli pisau itu di Berlin beberapa waktu yang lalu saat sedang berlibur di Jerman. Dia sedang berjalan di pusat perbelanjaan di Berlin ketika matanya tertuju pada sebuah toko pisau.
Messer zu töten! Knife to kill!” Begitu kata penjual pisau, seorang pria Jerman bertubuh jakung dan berkaca mata  padanya saat dia tertarik pada pisau bergagang perak itu.
Ich will es, I want it!” Katanya dengan bahasa Jerman terbata-bata. Penjual itu menatapnya lama.
“Its dangerous, gefährlich! Very sharp” kata penjual Pisau itu lagi. Dia menatap penjual pisau itu sebentar. Mengeluarkan seribu mark dari saku bajunya
“Take this! I want this Knife.” Katanya, disambut senyum senang penjual pisau. Harga pisau itu hanya 500 mark.
Begitu pisau itu terbungkus rapi dalam tasnya, perasaan senang luar biasa menghinggapinya. Entah mengapa dia tiba-tiba merasa sangat nyaman. Dan sekarang perasaan itu kembali lagi. Perasaan senang luar biasa memenuhi hatinya. Yah! Pisau ini sempurna, sangat sempurna untuk mengakiri hidup orang. Pisau ini dibuat khusus untuk membunuh. Dan memang, pisau ini sangat tajam. Dia pernah mengayunkan pisau itu ke daging sapi mentah. Hanya satu kali sayatan, daging itu terbelah menjadi dua. Perasaan senang kembali meliputinya, dia membayangkan daging manusia yang terbelah karena pisau perak itu.  Dia membayangkan tubuh perempuan itu yang disayat pisau ini. Dia menghentikan langkah di depan sebuah kamar. Yah, ini kamar perempuan itu. tidak salah lagi! Dia mengetuk pintu.
“Siapa?” tanya sebuah suara seorang perempuan yang terdengar kelelahan dari dalam. Dia tidak membalas, tetapi terus mengetuk.
“Siapa? Masuk saja pintu tidak dikunci!” teriak perempuan itu lagi. Dia tersenyum dan kemudian membuka pintu itu.
“Siapa kau?” Perempuan di dalam kamar terkejut saat melihatnya. Dia tersenyum jijik melihat perempuan itu mencoba menutup badannya yang telanjang dengan selimut. Dasar sundal! Makinya jijik dalam hati. Dia mendekat ke arah perempuan itu.
“Siapa kau? Dan apa yang kau lakukan dengan pisau itu?” perempuan itu menjerit. Dia melangkah semakin  mendekat ke arah perempuan itu. Dan kembali perasaan senang luar biasa menghampirinya, perasaan senang seperti pertama kali dia memiliki pisau  itu.
*
SAIFUL sedang menyeruput kopi gelas keduanya, ketika telepon di depannya berbunyi. Dia melirik jam  di dinding ruang piket dan menggerutu. Pukul tiga pagi! Saiful mengangkat gagang telpon dengan malas, berdoa itu bukan laporan pembunuhan. Sejujurnya satu setengah gelas kopi yang telah bermuara di lambungnya sama sekali tidak membantu mengurangi kantuknya. Kalo itu adalah laporan pembunuhan, mau tidak mau sebagai polisi yang piket, dia harus mengunjungi tempat kejadian perkara.  Memang piket pagi adalah piket yang paling dihindari dan biasanya piket pagi dibebankan pada polisi yang baru keluar dari pendidikan bintara sepertinya.
“Halo selamat pagi, kepolisian daerah Wedangan disini. Ada yang bisa kami bantu?” Katanya ketika gagang telpon telah bermuara di kuping dan mulutnya.
“Ada pembunuhan, Pak. Ada pembunuhann!” Suara seorang perempuan terdengar ketakutan dari seberang sana. Saipul berubah serius, dengan berat hati dia mengucapkan selamat tinggal pada sisa piket yang tenang.
“Dimana pembunuhan itu, Bu?”
“Wisma rose, Puplt street. Mayatnya di lantai tiga. Cepat datang pak Polisi!” Saiful mengerutkan kening mendengar perempuan di telepone itu mengatakan puply street. Itu adalah kawasan pelacuran yang terletak di sebelah selatan kota Wedangan.
“Baik, kami akan segera ke sana! Jangan lakukan apapun pada mayat itu, jangan ada yang masuk ke dalam tempat pembunuhan!” Perintahnya tegas. Tiba-tiba kantuk dan kemalasannya hilang. Pembunuhan di puply street! Wooow sangat menarik. Segera dia mengangkat gagang telpon dan menghubungi polisi piket di direktorat  resere dan kriminal.







Sekilas tentang Polda Wedangan

 

Kepolisian Daerah Wedangan berbentuk bundaran, terletak di sisi kanan Jalan Adi sucipto  jalan raya utama Wedangan. Ada lima buah bangunan yang berlantai lima  yang mengelililingi sebuah bangunan berlantai dua. Lima bangunan besar berlantai lima itu adalah lima direktorat yang ada di POLDA Wedangan sedangkan bangunan berlantai dua adalah bagian informasi dan ruangan-ruangan petinggi POLDA.  Ada lima ribu polisi yang bekerja di tempat seluas 3000 meter persegi yang dikelilingi pagar besi setinggi dua meter ini. Kelima ribu polisi itu tersebar di lima direktorat yang ada.
POLDA Wedangan dipimpin oleh Inspektur Jendral Polisi Joko Suryo, dengan Wakilnya Brigadril Jendral Polisi Erik Nasution.  IRJEN Joko Membawahi lima direktorat yaitu direktorat Lalu Lintas, Direktorat Reserse Kriminal, Direktorat Narkoba , Direktorat Reserse  Kriminal khusus dan Direktorat Intelegensi. Masing-masing direktorat dipimpin oleh Polisi berpangkat komisaris besar.
Bangunan direktorat reserse dan kriminal atau biasa disingkat DIRRESKRIM terletak di ujung selatan. Dipimpin oleh seorang kepala direktorat reskrim (KADITRESKRIM)  Komisaris Besar Edi Raharjo. KOMBES Edi membawahi Lima bagian direktorat  antara lain Bagian Pidana Umum (PIDUM), bagian Pidana Khusus (PISUS), Bagian Pengawasan Pelindungan Perempuan dan Anak (PANWAS PPA). Masing-masing bagian dipimpin oleh kepala bagian diretoriat reserse dan kriminal (KABAGDIRRESKRIM) berpangkat Komisaris Polisi. Bagian Pidana Umum adalah bagian direktorat reskrim yang mengangani pembunuhan. Bagian Pidum dipimpin oleh KOMPOL Ewin yang membawahi empat unit yaitu, unit satu yang menangani pembunhan, unit dua yang menangani perampokan, unit tiga yang menangani pencurian dan kekerasan (CUNRAS) dan unit empat yang menangani perampokan. Masing-masing unit dipimpin oleh kepala unit yang berpangkat Ajun Komisaris Polisi Ajun Komisaris Polisi Maulana adalah Kepala Unit satu yaitu unit yang menangani pembunuhan.



Angelina