Saturday, December 31, 2011

Pisau Sang Pembunuh (Chapther Satu)


BAB 1

HANYA butuh waktu sepuluh menit, mobil polisi yang membawa tiga polisi piket POLDA Wedangan sampai di gerbang masuk Puply City. Saiful polisi yang menerima telepon adanya pembunuhan yang menyetir, di samping kananya ada Alfred Polisi dari Direktorat Reskrim yang mendapat giliran piket pagi dan di bangku belakang duduk Adham polisi yang piket bersama Saiful di pos jaga POLDA Wedangan. Selalu begitu aturannya, bila ada laporan pembunuhan, maka petugas piket yang pergi meninjau. Mencari tahu siapa saksi, olah TKP jika kejadian pembunuhan itu ringan lalu memanggil petugas forensik yang bertugas mebawa mayat untuk diautopsi di rumah sakit dan kemudian membuat laporan kasus untuk diteruskan ke Reskrim POLDA. Akan tetapi jika pembunuhan itu berat seperti mutalasi atau pembunuhan dengan penganiayaan berat maka untuk olah TKP, mereka harus memanggil polisi yang lebih ahli dari Reskrim.
Mobil polisi melaju dengan kecepatan rata-rata memasuki Puply Street jalan raya lebar dan panjang yang membelah wisma-wisma berlantai tiga atau empat di kiri kanan jalan. Puply City pagi terlihat lengang, hanya sesekali mereka melihat mobil atau motor yang lewat di jalan itu, pejalan kaki yang biasanya memadati jalan juga mulai jarang. Alfred melihat jam di dashboard mobil, pukul tiga lebih tiga puluh menit dan mengerti mengapa puply street begitu lengang. Begitu melihat sebuah bangunan besar bertulis Wisma Rose yang diterangi lampu-lampu disko, Saiful segera membelokkan mobilnya masuk ke dalam halaman Wisma itu. Wisma Rose berlantai empat dan besar itu adalah salah satu wisma paling tua dan paling mahal di Puply City. Wisma Rose terletak kira-kira lima ratus meter dari gerbang masuk Puply city, warna temboknya yang merah selalu membuat orang teringat akan darah.
Alfred, Saiful dan Adham melangkah keluar dari mobil ketika mobil telah mereka parkir di lapangan parkir yang cukup besar di halaman wisma Rose. Ada jendela  sangat besar dengan kaca tembus pandang seperti estalste di mall-mall. Jendela besar itu dibuat dari kaca tembus pandang agar pengunjung Puply City yang melintas di Puply Street dapat melihat isi lobi wisma yang biasanya dihiasi perempuan-pereuan yang bekerja di wisma itu dari luar. Dari kaca jendela besar itu, ketiga polisi dapat melihat banyak perempuan sedang duduk berdesakan di bangku merah di dalam wisma. Wajah mereka tampak ketakutan dan ngeri. 
“Akhirnya, Polisi datang juga!” Puspita menyambut mereka saat mereka masuk ke lobi wisma Rose. Puspita berbadan gempal tapi terlihat semangat dan energik. Wajahnya ditaburi make up menor tetapi kerut di lehernya tak mampu menutupi usianya yang sudah menginjak kepala lima. Ada nada sedikit enggan di suara perempuan itu. Ketiga polisi piket itu tahu pasti mengapa nada suara perempuan itu enggan, Polisi selalu menjadi musuh besar PSK.  
“Selamat pagi, Bu! Kami dari POLDA Wedangan. Kami ke sini ingin menindak lanjuti laporan tentang penbunuhan di tempat ini yang diterima tadi pagi pukul 3 dini hari. Saya Alfred yang bertanggung jawab penuh, ini Adham dan Saiful yang membantu saya.” Alfred yang berbicara. Selain karena pangkatnya lebih tinggi dari Adham dan Saiful, dia adalah Polisi dari direktorat reserse dan kriminal dan sebagai anggota Reskrim, dia punya hak lebih banyak untuk menangani pembunuhan ini. 
“Perkenalkan saya Puspita, pemilik tempat ini. Yang meninggal adalah anak buah terbaik saya.” Puspita memperkenalkan diri, ada nada sedih di suaranya. Ketiga polisi itu mengira kesedihannya bukan karena kematian anak buahnya tetapi karena kehilangan satu aset berharga.
“Saya harap Anda belum mengubah posisi mayat dan mengacak-ngacak tempat kejadian pembunuhan.” Kata Alfred lagi. Pergeseran barang sedikit saja akan membuat perubahan berarti dan tentunya mempengaruhi penyelidikan.
“Kami tidak sanggup untuk melakukan hal itu, pembunuhan itu mengerikan.” Lagi Puspita berkata. Ada nada kengerian di suaranya. Alfred menyimak perkataan Puspita, kematian memang selalu mengerikan apalagi kalau dibunuh.
“Siapa yang menemukan mayat pertama kali?” Dia mengalihkan pembicaraan ke pokok paling penting yaitu saksi. 
“Jingga, dia sedang shock sekarang, Pak polisi. Saya tidak yakin dia mampu ditanyai. Saya tidak berani melihat mayat itu apalagi waktu salah satu bodi guard wisma muntah setelah melihat mayat itu.” Jawab Puspita lagi, menekan kata mengerikan. Alfred mendengar perkataan perempuan itu dengan seksama sementara itu matanya sibuk memandang sekeliling lobi. Lobi wisma itu luas ada sekitar dua puluh bangku di bagian kanan wisma, bangku-bangku tempat para PSK duduk yang dapat dilihat oleh pengunjung wisma rose dari luar jalan. Pada keadaan normal, bangku-bangku itu ditempati PSK yang bekerja di sana, duduk manis sambil tersenyum menggoda dengan pakian setengah telanjang, menunggu giliran dipanggil pelanggan. Namun sekarang bangku-bangku lobi itu dipenuhi oleh perempuan-perempuan yang ketakutan, kengerian bahwa teman mereka meninggal tampak jelas di wajah mereka yang lelah. Sementara itu agak menjorok ke dalam, ada sebuah lorong. Ada sekitar delapan puluhan perempuan yang berkumpul di situ. Sepertinya semua PSK sudah diungsikan ke lobi.
“Semua pekerja di tempat ini sudah berkumpul di lobi, Pak. Mereka ketakutan sekali. Tak ada yang berani menginjakkan kaki di lantai tiga. Tamu-tamu juga sudah disuruh untuk meninggalkan wisma.” Seolah tahu apa yang dipikirkannya, Puspita berkata pada Alfred. Alfred menyayangkan tamu-tamu yang telah disuruh pulang itu, mereka juga bisa dijadikan saksi. Semoga pihak wisma mencatat semua tamu yang datang ketempat ini, tetapi dia menyangsikan kemungkinan itu wisma Rose termasuk wisma mewah dan mahal. Tamu-tamu yang satang pasti orang berduit, berpengaruh dan kaya yang tentu tak ingin namanya tercantum dalam buku tamu wisma. Dia pernah beberapa kali datang ke tempat ini dan memang namanya tidak dicatat sama sekali. Dia mengangguk sebentar kepada Puspita dan berkata kepada Adham dan Saiful.
“Adham, kau urus saksi-saksi pembunuhan ini. Minta identitas saksi yang menemukan mayat korban, pemilik wisma dan beberapa orang yang terlibat bersama Korban dua puluh empat jam sebelum kematiannya. Setelah itu laporkan ke bagian Perencanaan dan Administrasi Reskrim. Saya ingin mereka segera mengeluarkan surat perintah panggilan saksi sehingga dua hari dari sekarang saksi-saksi itu dapat memberikan keterangan. Saiful, Kamu ikut saya ke TKP, mari kita melihat mayat dan lokasi kejadian.” Perintah Alfred. Saiful dan Adham menganggu, mengerti. Hal yang pertama kali dilakukan ketika tiba di lokasi pembunuhan adalah menanyai para saksi yang terlibat, meminta tanda pengenal dan alamat. Setelah itu kepolisian akan mengeluarkan surat perintah menjadi saksi yang diberikan kepada saksi paling lambat dua hari sebelum dia dipanggil. Setelah menerima surat panggilan, saksi baru bisa dimintai keterangan. Terkadang Alfred mencibir kegiatan memakan waktu lama itu, ada baiknya saksi harus segera digiring ke kantor polisi, tetapi apa mau dikata Indonesia dikenal sebagai negara birokrasi yang rumit.
“Siap, Pak!” Balas kedua polisi muda berpangkat brigadir dua itu.
“Ibu Puspita, Anda di sini saja. Anda akan dimintai keterangan oleh Polisi Adham” Alfred berkata sambil menunjuk pada Adham. “Bisakah salah seorang menujukkan jalan ke tempat terjadi pembunuhan?” lagi Dia bertanya pada Puspita. Perempuan itu segera menyuruh salah satu pria berotot mengantar mereka. 
“Silahkan ikut Bejo, Pak!” Kata Puspita kemudian. Dari raut wajahnya dia tampak tak senang mendengar kata dimintai keterangan. Melihat Adham yang sudah mulai sibuk membuka buku catatannya, Alfred dan Saiful segera meminta pria berotot bernama Bejo itu mengantar mereka. Pria berotot itu berjalan di depan, Alfred dan Saiful mengikutinya dari belakang. Mereka masuk ke dalam lorong yang terletak agak ke dalam lobi, menuju sebuah lift.
Atmosfir kematian sangat berasa di lantai tiga. Begitu mereka keluar dari lift, Alfred bisa mencium bau darah yang telah berbaur di udara. Lima tahun menjadi polisi di unit dua yang menangani pembunuhan di direktorat Reskrim membuat hidungnya hafal dengan bau amis darah. Mereka berjalan menyusuri lorong lantai tiga yang luasnya kira-kira satu meter. Lorong itu membelah kamar-kamar yang berada disisi kiri kanan lorong. Lorong itu panjang sepanjang lima ratus meter menurut perkiraan Alfred. Sebagai polisi Reskrim, dia memang harus bisa memperkirakan luas tempat. 
Alfred memandang sekeliling lorong itu, dia segera menganalisa tempat. Satu-satunya jalan yang membawa mereka ke lantai tiga adalah lift dan sebuah tangga darurat di sisi kanan lift. Ujung lorong itu adalah tembok tak berjendela sementara sisi kiri kanan lorong adalah kamar. Pelaku pasti masuk dan keluar lewat lift atau tangga darurat. Mulai Alfred menyusun analisa dalam kepalanya. Dalam hati dia menghitung jumlah kamar di sisi kiri kanan lorong, ada dua puluh kamar, setiap kamar memiliki nomor di pintunya, bagian kanan lorong bernomor akhir ganjil bagian kiri lorong bernomor genap. Alfred tahu itu adalah kamar tempat terjadi transsaksi seksual. Alfred selalu menyebut tidur dengan PSK dengan sebutan transaksi seksual, karena dia membayar sebelum melakukan hubungan seksual. Untuk wisma besar seperti Wisma rose ini, kamar yang dipakai sebagai tempat kasak-kusuk adalah kamar si PSK sendiri. PSK itu diberikan suatu kamar lengkap dengan isinya. Dia pernah memakai jasa salah seorang PSK di wisma Rose dan memang ada nuansa lain ketika memasuki kamar-kamar di situ, ada nuansa yang tak bisa dijelaskan kata-kata saat menyadari transaksi seksual itu dilakukan di kamar yang biasa dipakai PSK sehari-hari. Alfred single dan menurutnya bertandang ke tempat pelacuran bukan dosa apalagi belum menikah. Tetapi dia juga tak merepotkan orang yang sudah menikah datang ke tempat ini, semua orang punya hak yang sama. Lagi dia memandang sekelilig lorong, Tak ada kamera CCTV di tempat itu.
“Perhatikan lokasi pembunuhan, lihat setiap celah yang memungkinkan cara pelaku melakukan aksi. Berpikirlah sebagai pelaku pembunuhan!” Alfred terngiang kembali perkataan Komisaris Besar Rudi salah satu pengajar di Pusat didik Reskrim, pendidikan khusus reserse dan kriminal bagi polisi yang akan bekerja di direktorat Reskrim. Keinginanya menjadi polisi timbul saat dia menonton film Bad Boys yang diperankan Will Smith ketika dia duduk di bangku SMP, menjadi polisi itu keren, begitu pikirnya waktu itu. Dan untunglah keinginan itu disambut baik ayahnya yang seorang pengusaha. Ada dua pendidikan polisi, Bintara dan Perwira. Polisi yang memilih bintara akan mendapat pendidikan selama enam bulan kemudian magang selama enam bulan dan mendapatkan pangkat Bripda. Polisi yang memilih Perwira akan menempuh pendidikan selama empat tahun setara sarjana hingga kemudian lulus dan mendapat Pangkat Ipda. Dari Bripda hingga mendapat pangkat Ipda memakan waktu belasan tahun. Polisi yang menamatkan perwira biasanya diperuntukan untuk memimpin unit POLRI dari POLDA sampai P)LSEK. Alfred memilih sekolah perwira, dia lulus testing masuk sekolah polisi yang sulit dan ayahnya sangat bangga karena hal itu.
“Belajarlah menjadi polisi yang baik, Nak. Biar kelak kamu bisa menolong Ayah saat ada masalah dengan hukum dan polisi.” Begitu kata Ayahnya saat dia akan pergi dari rumah dan bersekolah perwira di Akademi Polisi. Alfred menghabiskan Setelah empat tahun mengenyam pendidikan perwira dia berhasil keluar dengan nilai sempurna. Mereka yang bernilai bagus akan dikirim ke pusat didik Reskrim, untuk dijadikan penyidik di direktorat Reskrim. lima bulan setelah dia tamat perwira dengan gelar IPDA, dia segera dikirim ke Pusat pendidikan Reskrim. Selama enam bulan dia belajar menuntut ilmu khusus tentang kriminal hingga akhirnya selesai, mendapat sertifikat dan menjadi salah satu anggota unit dua yang menangani kasus pembunuhan di bagian pidana umum direktorat Reskrim POLDA Wedangan. Tiga tahun menjadi polisi Reskrim, dua tahun lalu Alfred naik pangkat menjadi IPTU. Tiga tahun lagi kalo prestasinya cemerlang, dia akan meraih pangkat Ajun Komisaris Polisi seperti Kepala unitnya Maulana.
“Ini dia tempat pembunuhannya, Pak” Bejo laki-laki berotot yang mengantar mereka tiba-tiba berkata. Mereka berhenti di sebuah kamar bernomor 306 yang pintunya tertutup. Alfred mengangguk pada Pria itu.
“Pasang garis polisi di sudut lorong dekat lift, Saiful.” Alfred berkata pada Saiful. Saiful mengangguk dan segera menuju ke ujung lorong dekat lift. Yahh keseluruhan lantai tiga harus disterilisasikan.
“Saya boleh pergi, Pak?” Bejo terdengar ketakutan. Berotot kok takut sama mayat, pikir Alfred sinis.
“Silahkan, jangan ada yang kemari sebelum diperintahkan!” Katanya kemudian. Bejo si pria berotot pergi meninggalkanya setengah berlari. Alfred menghela napas sejenak, perlahan tetapi pasti dia membuka pintu kamar itu.
Kamar itu besar, kira-kira berukuran 10 x 20 Meter persegi, pastilah PSK yang menempati kamar ini istimewa, dia tidak ingat kamar PSK yang dia tiduri beberapa bulan lalu itu sebesar kamar ini. Perabotnya lengkap, ada tivi plasma berukuran besar inci, kulkas, AC dan sebuah kamar mandi di pojok ruangan. Kamar PSK ini hampir sama fasilitas dengan kamarnya yang terletak di sebuah apertemen elit di pusat kota wedangan. Sebuah tempat tidur besar terletak merapat di dinding dekat jendela bertrali di bagian utara kamar. Ada dua buah lemari besar dekat pintu dan satu meja rias besar dengan cermin tak kalah besar di samping tempat tidur. Keadaan di kamar itu berantakan, seprai dan bantal terletak tak beraturan di tempat tidur, ada beberapa tissue berserakan di lantai dan yang paling membuat Alfred terperangah ada sesosok mayat perempuan mengerikan yang terbaring telanjang di lantai kamar beralas karpet berudu. Mayat perempuan yang mengerikan. Posisi mayat itu terlentang, tangannya terbuka lebar seperti gerakan mendepa pada baris berbaris. ada luka besar di dada kanannya, membuat hampir seluruh payudaranya digenangi darah. Rambutnya berantakan dan pendek, seseorang telah memotong rambut perempuan itu serampangan. Wajah perempuan itu pucat pasi, matanya tertutup mulut terbuka, Alfred bisa melihat kengerian yang sangat pada wajah perempuan itu, perempuan itu mati dengan tidak tenang, Alfred bisa melihat dia berteriak-teriak histeris saat dibunuh. yang paling membuat Alfred ngeri, selangkangan perempuan itu berdarah dan tidak karuan. Seseorang telah menghancurkan selangkangan perempuan itu.
“Astaghfirullohal’adzim! Ya Allahh!” Suara Saiful terdengar dari pintu kamar. Alfred memandang wajah Saiful yang terlihat pucat pasi. Saiful berdiri terperanjat di depan kamar tempat terjadi pembunuhan. Rupanya dia sudah selesai memasang garis polisi di depan lorong dekat lift.
“Hubungi kantor, Pul. Minta tim forensik dan lebih banyak lagi polisi dari Reskrim. Saya akan menelpon Ajun Maulana.” Hanya itu yang keluar dari mulut Alfred. Kengerian terpancar dari wajahnya. Ini kasus besar. Sangat besar.
(2172 kata)



2 comments:

  1. bikin penasaran nih.....kayaknya bakal ada perkumpulan rahasia yang melakukan penghapusan secara senghaja

    !!!

    ReplyDelete
  2. kok serem banget sih mbak.tapi linda kagum mbak tau bgt ttg polisi.cuma mayatnya itu aduh

    ReplyDelete