Monday, January 2, 2012

Pisau Sang Pembunuh (Chapther dua)


Maulana sedang tertidur nyenyak, ketika handphonenya berdering. Dering handphone yang sengaja distel dengan volume keras itu selalu berhasil membuat dia terbangun. Maulana sengaja menstel volume handphone sekeras mungkin agar bisa selalu terjaga bila ditelepon saat dia tertidur nyenyak. Sebagai kepala unit II, dia harus selalu sigap dipanggil setiap ada kasus pembunuhan yang besar. Dia meraih handphone itu dan mengerutkan kening ketika melihat nama Alfred tertera di layar, dia ingat Alfred adalah polisi yang piket. Pasti ada sesuatu yang serius!

“Hallo, Inspektur.” Sapa Maulana kemudian. Dia selalu memanggil bawaan yang cerdas itu dengan sebutan Inspektur.
“Ada pembunuhan mengerikan di Puply City, Pak. Saya rasa, Bapak harus segera ke sini. Sebaiknya Bapak yang melakukan olah TKP.” Suara Alfred terdengar serius dari seberang sana. Maulana memandang jam weker di meja disamping tempat tidurnya yang besar. Dia mengernyit! Pukul lima pagi dan ada pembunuhan di Puply City. Selama sepuluh tahun dia bekerja di Reskrim POLDA Wedangan, baru kali ini dia mendengar ada Pembunuhan tempat pelacuran paling terkenal itu.
“Tiga puluh menit lagi saya tiba di TKP!” Balas Maulana kemudian. Seluruh kesadarannya telah kembali, dia bangkit berdiri dari tempat tidurnya dan melangkah ke kamar mandi. Sepuluh tahun menjadi penyidik di Reskrim membuat Maulana terbiasa dibangunkan pagi-pagi seperti ini. Kejadian dibangunkan pagi-pagi menjadi semakin sering sejak tiga tahun lalu, sejak dia menjabat sebagai kepala unit II, unit yang menangani pembunuhan di bagian pidana umum direktorat Reskrim POLDA Wedangan. Maulana berusia 34 tahun wajahnya tampan, badannya tegap dengan tinggi dan berat badan proposional. Rambutnya selalu dipangkas rapi membingkai wajah dan rahangnya yang tegas. Maulana tidak pernah memelihara kumis atau jambang, jambang dan kumis itu selalu dicukur bersih. Yang paling menonjol dari Maulana selain otaknya yang cerdas dan wajahnya yang tampan adalah matanya. Matanya yang berwarna coklat itu selalu menatap tajam siapapun lawan bicaranya. Mata Maulana sudah sering membuat tersangka mengakui pembunuhan yang mereka lakukan, mereka tidak sanggup berbohong di bawah tatapan yang tajam menghunus itu. 



Sepuluh menit kemudian maulana telah selesai berpakian. Sebelum menuju ke garasi, dia mampir sebentar ke kamar putrinya yang berumur enam tahun, Rana. Rana sedang tertidur nyenyak di tempat tidur. Bad cover bergambar Hello Kitty yang menutup badannya tadi malam tersibak di bawah kakinya. Maulana segera masuk ke dalam kamar putrinya mengambil bed cover yang tersibak itu dan menutup tubuh  gadis kecilnya dengan lembut. Wajah Rana tampak tenang dan damai. Dia semakin mirip wajah ibunya, pikir Maulana sedih dan bahagia. Emita istri Maulana telah meninggal. Dia meninggal saat melahirkan Rana. Pendarahan hebat yang terjadi saat persalinan berlangsung, membuat tim medis yang membantu persalinan hanya berhasil menyelamatkan Rana. Sudah enam tahun berlalu dan Maulana masih merasakan kesedihan mendalam karena kematian Emita yang sangat dicintainya itu. Tetapi  kehadiran Rana yang ceria dan cantik perlahan menghapus kepedihan itu. Maulana mengecup dahi Rana sebelum keluar dari kamarnya. Sampai sekarang Maulana belum pernah jatuh cinta lagi dan belum berniat mencari ibu bagi Rana.
“Bi, nanti kalo Rana bangun bilang saya kerja yah! Saya udahakan kembali sebelum dia berangkat sekolah, tetapi  jika tidak urus semua keperluannya. Nanti saya jemput dia saat pulang sekolah. ” Kata Maulana pada Sumi, pembantu yang bekerja di rumahnya sejak lama saat dia dan Sumi berpapasan di ruang tengah. Maulana menatap arlojinya dan berharap olah TKP itu tidak memakan waktu lama.
“Baik, Tuan!” Balas bi Sumi sopan.
*
Maulana sampai di Wisma Rose tiga puluh menit kemudian. Dia memarkir mobilnya di halaman Wisma Rose di sebelah mobil polisi, rupanya tim forensik dan polisi yang lain belum muncul. Dia melangkah masuk ke dalam Wisma rose dan mendapati Lobi Wisma kosong. Hanya ada dua orang polisi yang diketahuinya bernama Adham adengan empat orang pria dan seorang laki-laki. Maulana mengira ke empat orang itu adalah saksi yang tengah ditanyai polisi. Begitulah proses olah penanganan pembunuhan. Mula-mula akan ada laporan lalu kemudian beberapa orang polisi akan segera menuju TKP, jika pembunuhan itu kecil maka dapat dilakukan olah TKP segera mungkin, jika itu pembunuhan besar dan disertai penganiayaan besar-besaran, maka olah TKP dilakukan oleh penyidik senior seperti dirinya. Adham melihat Maulana masuk ke dalam Lobi, dia segera menghampiri Maulana.
“Selamat Pagi, Pak!” Sapanya hormat, Kepolisian sangat menjunjung tinggi senoritas.
“Selamat pagi! Sedang bertanya-tanya pada saksi? Kemana penghuni wisma ini?” Tanya Maulana singkat.
“Semua penghuni wisma sudah disuruh kembali ke kamar masing-masing, Pak.  Lantai tiga yang merupakan TKP telah disterilakan!” lapor Adham. Maulana mengangguk mengerti.
“Lanjutkan menanyai saksi. Saya ingin segera menuju TKP. Diamna jalan menuju TKP?” tanya Maulana.
“Bapak masuk ke dalam lorong itu, jalan terus nanti di ujung lorong ada tangga dan lift.” Adham menjelaskan, maulana mengangguk dan segera berjalan menuju lorong yang ditujukan Adham.  Begitu  keluar dari lift, maulana disambut garis polisi yang dipasang di ujung lorong. Ada banyak kamar di samping sisi kiri kanan lorong. Tepat di tengah lorong beberapa meter dari dia berdiri tampak dua orang polisi, Saiful dan Alfred. Meski tidak begitu jelas Maulana bisa melihat kengerian di wajah mereka. Dengan pasti dia melangkah melewati garis polisi, Alfred melihat kedatanganya dan berjalan menyambutnya.
“Selamat pagi, Pak! Syukurlah Bapak telah sampe. Polisi  lainnya akan segera datang dari Reskrim. Saya menunggu Anda untuk melakukan olah TKP lengkap.” Kata Alfred. Maulana mengngangguk mengerti.
“Saya liat sudah dilakukan pemasangan garis kuning di depan lorong itu. Sepertinya memang lantai tiga harus disterilkan. Sudahkah kalian mengukur panjang lorong ini?” Tanya Maulana kemudian. Alfred mengangguk.
“Sudah, Pak. Panjanganya lima ratus meter.” Jawab Alfred.
“Ayo kita lakukan olah TKP!” Kata Maulana. Alfred segera memberikan sarung tangan ke arah Maulana. Maulana menerimanya dan segera memakai sarung tangan itu. setiap mengolah TKP selalu menggunakan sarung tangan melindungi diri dari penyakit berbahaya yang ditularkan melalui darah dan juga untuk tetap melindungan barang yang berada di TKP agar sidik jari barang itu tidak tercemar dengan sidik jari polisi.  Alfred memberikan masker pada Maulana
“Tidak usah.” Tolak Maulana.
“Anda akan sangat memerlukannya,  Pak.” Alfred memasang tampang serius. Mau tak mau Maulana menerimanya dan memakainya. Mereka segera berjalan memasuki kamar. Maulana senang melihat Saiful,  tenaganya, Alfred dan Saiful cukup untuk mengumpukan barang bukti, sebelum polisi lain tiba. Tetapi melihat muka Saiful yang pucat pasi Maulana  mengurungkan niatnya untuk mengajak polisi baru itu ikut mereka. Mungkin ini pertama kalinya bagi Saoful melihat mayat yang mengerikan.
“Saiful, coba cari barang bukti di sekitar lorong ini.”Perintah kemudian yang disambut ekspresi lega Saiful.
“Baik, pak!” katanya. kemudian mulai berjalan di sekitar lorong. Maulana mengajak Alfred masuk.
Mereka melangkah masuk ke dalam kamar itu  dan Maulana bergidik melihat sesosok mayat perempuan terbaring di lantai kamar. Banyak barang berserakan di situ.
“Segera kumpulkan barang-barang yang diduga berhubungan dengan korban. Sampah-sampah itu juga dikumpulkan.” Perintah Maulana. Alfred mengangguk dia mulai mengumpulkan barang-barang yang diperintahkan Maulana. Barang-barang yang terdapat di TKP adalah barang penting. Puntung rokokpun tak kalah penting.  Maulana menghampiri mayat perempuan yang terbaring itu dan menelaah seluruh tubuh perempuan itu. Wajah perempuan itu pucat pasi, Maulana sudah sering melihat mayat dan dia memperkirakan perempuan itu seudah meninggal tiga jam yang lalu. Di dada kiri perempuan itu ada luka menganga, dia melihat luka tubuh perempuan itu dan meringgis, jelaslah ini luka karena tusukan benda tajam. Ada luka lagi di tubuh perempuan itu, dan kali ini luka itu ada di kemaluannya. Maulana merinding, dia beruntung memakai masker. Dia segera mengambil sapu tangan dari saku celananya dan menutup bagian itu.
“Pak, tim forensik dan identifikasi telah datang!” tiba-tiba Saiful muncul dari pintu. Diikuti oleh tujuh orang orang polisi lain. Maulana lega. Segera dia memanggil tim identifikasi.
 “Potret kondisi mayat ini dan seluruh ruangan. Foto close up luka di dada kanan dan di selangkangannya.” Pintahnya kepada seorang polisi yang membawa kamera.
“Yang lain segera mencari barang-barang yang berhubungan dengan korban. Laukan metode zone.” Perintah maulana pada dua polisi lagi. Metode Zone adalah metode pencarian barang bukti dengan cara menelusuri semua daerah tempat terjadi pembunuhan.
“Alfred, segera ambil sidik jari korban dan sidik jari di tubuh korban. Lakukan dengan cepat. Lima menit lagi, bawa mayat ini ke rumah sakit.” Lagi dia memerintah. Mereka yang diperintah segera melakukan tugasnya masing-masing. Hal yang paling penting dalam olah TKP adalah sidik jari, pengumpulan barang bukti yang terlibat dengan korban dan keadaan korban. Maulana menyusuri kamar itu dan mulai menyusun teori, Pelaku pasti masuk dari lift atau tangga di ujung lorong, itu alasan satu-satunya untuk masuk ke tempat ini. Dia memikirkan kemungkinan pelaku keluar. Ada jendela di bagian utara kamar dekat tempat tidur. Maulana mendekat ke arah jendela itu memperkirakan apakah pelaku masuk dan lewat dari situ. Terlalu tinggi! Pelaku pastilah orang yang hebat seperti Spiderman jika dia keluar dari jendela. Dari jendela Maulana bisa melihat Puply City, tampak wisma-wisma membentang sepanjang Puply Street.
Puply City pagi hari sepi dan lengang, hanya tampak pedagang yang menjajakan dagangan di seputaran wisma yang berjumlah lebih dari seratus buah itu. Baru sekitar jam tujuh malam nanti jalan itu ramai, berbagai pria dari segala usia dan profesi berkumpul di situ memuaskan hasrat seksual mereka. Malam minggu apalagi pengunjung Puply Cty bisa mencapai ribuan orang. Para Pengunjung bukan hanya yang berasal dari seputar wilayah Wedangan saja tetapi dari luar kota bahkan luar negeri. Puply City adalah Bisnis prustitusi terbesar di Asia, terletak di bagian selatan Propinsi Wedangan. Ada seratus lebih wisma yang tersebar di sepanjang jalan Puply Street. Wisma rose yang terletak kira-kira limaratus meter dari gerbang wisma adalah wisma paling besar paling megah dan paling banyak dikunjungi. Maulana sama sekali tidak pernah menyentuh pelacur seumur hidupnya, tetapi dia tak keberatan jika teman-temannya sering bermain ke tempat pelacuran. Ini menyangkut prisnsip, begitu pikirnya, Johan Sahabatnya sesama AKP, Kepala unit I yang menangani pencurian dan kekerasan suka ke tempat pelacuran. Sama Dia dan Johan seumuran dan sudah menikah, Johan hidup bahagia dengan istrinya Feby yang cantik dan dua orang anak. Tetapi sesekali dalam beberapa bulan, Johan menyempatkan diri bermian di Puply City.
“Yang penting pake kondom, Lan. Dan lagipula aku hanya ingin menguji keperkasaanku.” Begitu dalihnya ketika Maulana menegurnya. Membuat Pelacur orgasme merupakan prestasi yang luar biasa, begitu munngkin pikir Johan.
“Tetapi sebaiknya jangan sering, Johan, Kasihan Istrimu.” Itu pesan Maulan.
“Lah mendingan pake jasa pelacur daripada memelihara simpanan. Laki-laki sejati itu tidak hanya tidur dengan satu perempuan.” Johan membelah diri. Maulan menyerah, Sahabatnya itu memang Playboy dari dulu. Tetapi dalam hati dia membenarkan ucapan Johan. Bermain dengan pelacur lebih baik daripada mempunyai simpanan. Maulana dan Johan bersahabat sejak sama-sama menempuh pendidikan Perwira di akademi Polisi, mereka juga sama-sama di rekrut POLRI untuk mengikuti pendidikan Reskrim dan kebetulan ditempatkan di POLDA yang sama dan sama-sama kepala unit. Mereka bersahabat baik, sangat baik. Tidak ada rahasia diantara mereka berdua. Menurut Johan, pelayanan wisma Rose itu memang sempurna beda dengan wisma-wisma lain.
“Perekrutan PSK di wisma itu sangat ketat. Konon perempuan-perempuan yang bekerja di sana di seleksi dahulu, kemudian diberi pendidikan tentang tehnik seks selama enam bulan hingga akhirnya terjun langsung di lapangan.” Begitu kata Johan suatu waktu saat mereka tiba-tiba berbicara pelacuran. Pembicaraan itu bermula dari ajakan Johan yang menyuruh Maulana bermain ke Puply city. Sahabatnya itu nampak iba pada Maulana yang sudah tak lagi menyentuh perempuan sejak kematian Emita. Ajakan yang ditolak mentah-mentah oleh Maulana. Untungnya Johan bukan tipe pemaksa.
“Ah, terserahlah. Tetapi segera cari pengganti Emita, Lan. Usia 34 tahun itu usia sedang haus-hausnya.” Kata Johan akhirnya. Maulana tersenyum mendengar perkataan temannya itu. Untuk sekarang tangannya mampu mengantikan tugas pelacur-pelacur yang biasa dipakai Johan.
 “Pak, kami sudah mengumpulakn tissue yang tergeletak di lantai dan beberapa puntung rokok di meja. Apakah masih ada lagi yang dikumpulkan?” Seorang polisi menghampiri Maulana yang telah selesai mengambil sidik jari korban dan beberapa sidik jari dari tubuh korban. Maulana memandang polisi itu sebentar, mulai berpikir.
“Baju Korban, semua seprei dan bantal diambil juga. Jangan lupa periksa sidik jari di semua tempat.” Perintahnya lagi. Polisi itu mengangguk dan kembali bekerja. Maulana memandang Alfred yang berada di depannya.
“Panggil petugas forensik dan angkat mayat perempuan ini, bawa ke rumah sakit.” Perintahnya. Alfred mengangguk. Tidak sampai beberapa menit kemudian, petuga forensik muncul mengangkat mayat itu ke tandu dan membawa keluar kamar. Hawa murung kematian seketika hilang dari tempat itu. Maulana dan polisi yang tersisa nampak menghela napas lega. Seorang petugas kemudian menandakan belas mayat terbaring tadi.
“Baiklah, apakah Metode SI ADI DEMEN BABI sudah terpenhi semua?” tanya Maulana kemudian. Polisi-polisi itu mengangguk. Setiap melakukan olah TKP ada tujuh pokok yang harus dicapai yang disingkat dengan sebutan SI ADI DEMEN BABI yang merupakan kepanjangan dari  SIApakah, yg melakukan tindakan? DI manakah tindakan pidana itu  dilakukan? DEngan apakah pembunuhan itu dilakukan? MENgapa Pembunuhan itu dilakukan? BAgaimana pembunuhan itu dilakukan? Dan BIlamanakah, tindakan pembunuhan itu dilakukan? Singakatan itu dibuat untuk memeudahkan polisi menghafal.
“Siapa pembunuhnya yang belum diketahu, Pak!. Alat pembunuhan juga masih belum bisa dipastikan. Yang pasti pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan benda tajam.” Alfred yang menjawab.
“Baiklah, kalo begitu kita segera kembali ke kantor. Melakukan gelar kasus di ruanga rapat. Dua orang polisi tetap tinggal di sini dan jangan ijinkan orang lain masuk kecuali penghuni kamar di ruangaini. Hentikan semua kegiatan di lantai tiga ini untuk sementara.” Perintah Maulana kemudian. Semua polisi mengangguk.
“Saiful, Suruh semua saksi yang telah dikumpulkan Adham dibawa ke kantor polisi segera. Tidak perlu menunggu surat perintah.” Perintah Maulana lagi. Saiful mengangguk. Semua petugas polisi bersiap-siap mereka mulai memasukan barang bukti itu ke dalam tas yang disediakan.
Maulana menatap kamar itu lagi dengan ngeri. Pembunuhnya harus segera ditemukan. Harus!
(2187 kata)



7 comments:

  1. Keren mbak, kalo boleh saran, pakein read more biar ga kpanjangan


    saalam :D

    ReplyDelete
  2. baru nih baca yg kayak gini huehehehhe menarik :D

    ReplyDelete
  3. Mbak Citra: Saya gak tahuu caranya, Mabakk *Menagisdipojokruangan*
    Mbak Erlinda: Makasihhh, mabakkkk :-)
    Mbak Ilalang: Treimakasih sudah singgah

    ReplyDelete
  4. detail banget mbak.. luar biasa... memang harus diakui, riset olah TKP nya memang pantas dapat bintang 5.

    @hazmiSRONDOL
    novelmarried.wordpress.com

    ReplyDelete
  5. sepakat sama detilnya, tapi sekedar pendapat, kayakna banyak alinea yang terlalu gemuk. Bagi bebrapa orang sih biasanya mengurangi kenyamanan saat membaca.

    ReplyDelete
  6. Mas Hazmi: Oke Saya meluncuurr tetai komennya diakhir yah, Mas ;-)
    Mas Herlambang: oke oke terimakasih masukkannya, Mas
    Akhir aja baru saya edit yah.. Terimakasihhh

    ReplyDelete