Friday, January 6, 2012

Pisau sang pembunuh Chapter Tiga

Propinsi Wedangan merupakan salah satu propinsi terbesar di Indonesia. Kota wedangan, ibukota propinsi itu luas dan padat. Jalanannya selalu penuh dengan mobil-mobil pribadi milik pekerja kantoran di gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di sepanjang jalan utama di pusat kota. Penduduk kota kebanyakan adalah pendatang, penduduk asli wedangan, banyak ditemui di daerah pinggir kota bermukim membentuk pemukiman yang asri. Kepolisian daerah Wedangan terletak di sebuah area dengan luas enam ribu meter persegi terletak di timur Wedangan lima kilometer dari pusat kota. Ada sepuluh gedung yang terletak agak menjorok ke dalam dari jalan, sejarak satu lapangan sepak bola dari gerbang yang dijaga ketat oleh polisi piket di balik halaman berpagar tembok setinggi tiga meter.

POLDA terbesar kedua setelah POLDA Metro Jaya di Jakarta ini memiliki tujuh ribu polisi yang tersebar di delapan direktorat yang dipimpin oleh Inspektur Jendral Eric Nasution. Direktorat Reskrim terletak di gedung F, gedung berlantai lima yang terletak di ujung barat kompleks, dikepalai oleh Komisari Besar Polisi Herry. Ada empat Subdirektoriat di direktorat Rekrim, antara lain; Subdit kriminal Umum, Subdit Kejahatan dan Kekerasan, Subdit remaja, anak dan wanita dan Unit Inafis (Indonesia Automatic Finger Identification System) atau Identifikasi TKP.  Masing-masing Sub direktoriat dipimpin oleh KaSubdit berpangkat komisaris Polisi. Komisaris Polisi Armin adalah Kepala sub direktoriat kriminal umum, dia membawahi empat unit yaitu; Unit I yang menangani Pencurian dan perampokan Unit II yang menagani Pembunuhan, Unit III yang menangani perjudian dan pembajakan dan Unit IV yang menangani pencemaran nama baik dan kasus-kasus serupa. Masing-masing unit dikepalai oleh polisi berpangkat Ajun komisaris polisi. Bagian Pidana Umum terletak di lantai tiga. Ada lima ruangan kecil sebagai kantor pribadi kepala bagian dan kepala unit, satu ruangan interogasi, satu ruangan penyimpanan berkas, satu ruang rapat  dan sebuah ruangan ruangan sebesar dua lapangan basket dengan sekitar lima puluh meja dan kursi yang masing-masing dipenuhi berkas dan barang-barang pribadi, dan sebuah Laptop milik para polisi yang bekerja sebagai penyidik dan penyelidik di bagian itu. 
Maulana sampai di bagain pidana umum  setelah berjam-jam olah TKP yang melelahkan. Semua barang bukti telah dibawa tim identifikasi dan telah dikirim ke laboratorium kriminal yang berada di gedung C dua gedung dari gedung RESKRIM. Butuh dua hari bagi para ahli  di laboratorium untuk meidentifikasikan fakta-fakta yang terjadi di TKP. Sudah banyak polisi yang berkumpul di ruangan pidana umum ketika dia muncul. Bahkan di ruang tunggu di depan sudah ada beberapa orang yang mengantri untuk melapor. Dan benar saja begitu masuk ke dalam ruangan tampak polisi-polis sedang sibuk di balik meja mereka masing-masing. Maulana segera melangkah ke dalam kantornya. Sebagai kepala unit II, unit yang menangani pembunuhan dia memiliki sebuah kantor pribadi. Maulana Menaruh tas di meja dan duduk di kursi di belakang mejanya. Ruangan itu berukuran tiga kali empat meter persegi. Terbuat dari tembok yang dicat putih. Di dinding ruangan itu tertempel berbagai poster yang berisi hal-hal menyangkut penanganan pembunuhan, ada bingaki foto Rana putri Maulana di meja yang dipenuhi berkas-berkas pembunuhan. Dia merapikan berkas di mejanya. Selain pembunuhan yang baru saja terjadi di puply street masih ada lima pembunuhan lain yang harus dia tangani, hanya saja kelima pembunuhan itu telah sangat jelas siapa pelakunya. Berbeda dengan pembunuhan puply city itu. Dia menatap jam di dinding. Pukul sembilan pagi. Empat jam telah dia habiskan di wisma rose
“Selamat siang, Maulana!” tiba-tiba seseorang menyapanya dari luar pintu. Maulana menoleh, Kasubdit Kriminal Umum, Komisaris polisi Armin atasannya berdiri di pintu. Kompol Armin berbadan sedang, tidak kurus tidak juga gemuk. Tinggi badannya untuk ukuran polisi bisa dikatakan pendek hanya seratus enampuluh tiga meter. Tetapi jangan salah otaknya cerdas dan tak segan-segan membanting pelaku yang beratnya empat kali dari beratnya. Armin menguasai Judo dan karate. Maulana menyukai Atasannya yang menyenangkan dan berjiwa muda itu, Armin adalah satu-satunya polisi yang memakai jaket dan sepatu convers ke kantor.  Dia masih energik dan bersemangat di usianya yang telah mencapai kepala empat lebih. Armin inggal di daerah perumahan elit di sebelah selatan kota Wedangan bersama istri dan tiga orang anaknya.
“Silahkan masuk, Pak!” Maulana berdiri dari duduknya.  Armin melangkah masuk, alih-alih duduk di kursi di depan meja Maulana, pria itu memilih berdiri. Maulana menawarkan kursi.
“Tidak usah! Saya tidak lama.” Tolaknya. Maulana mau tidak mau ikut berdiri bersama atasannya itu. Armin segerah meraih malboro merah dari sakunya menyalahkan sebatang rokok mengisapkan sebentar dan mengembuskan ke udara. Dia menawarkannya pada Maulana, Maulana mengambil satu batang  untuk menghormati atasannya. Salah satu hal positif dari rokok.
“Saya mendengar kasus, Maulana. Pembunuhan di Puply City.” Armin memulai. Maulana menatap Bosnya sejenak. Pria itu memang tidak suka berbasa-basi.
“Betul, Pak. Sebentar lagi akan diadakan gelar kasus.” Maulana menjawab.
“Bagus bagus bagus. Kalian bertindak cepat. Beritahu saya kalau gelar kasusnya sudah dimulai.” Kata Armin lagi. Salah satu yang paling disukai Maulana dari bosnya ini adalah peranginya yang selalu memuji langkah kerja bawahannya.
“Saya ingin kau menangani pembunuhan ini, Maulana. Ini pembunuhan yang bisa-bisa membahayakan Wedangan. Butuh tenanaga ahli. Semua kasus-kasusmu yang lain akan saya suruh beberapa bawahanmu yang menangani.” Kata Armin lagi. Dia mengisap rokoknya beberapa kali kemudian mematikannya di asbak putih yang terletak di meja kerja Maulana. Maulana mengangguk.
“Baiklah, Pak! Saya akan mengabari Bapak jika gelar kasus akan dimulai. Saya sedang menunggu laporan dari rumah sakit tentang aotopsi mayat. Kata Maulana kemudian. Armin mengangguk.
“Sebaiknya segera dibikin, saya khawatir media sudah mendengar kabar ini. Berita ini tentu saja menjadi hal yang menarik untuk mereka.” Armin menambahkan. Maulana mencelos, Media sama sekali tidak masuk dalam hitungan. Pembunuhan di puply City pastilah menjadi santapan empuk media dan entah mengapa polisi dan media selalu perang dingin. Maulana membenci kerja media yang selalu melebih-lebihkan suatu masalah pembunuhan. Bila pembunuhannya belum ditangkap mereka akan menilai kerja polisi lamban bila pembunuhan sudah ditangkap mereka malah akan mengerubuti polisi bertanya kesana kemari tentang kasus itu.
“Baik, Pak. Saya mengerti, kita adakan konferensi pers apabila kasus ini sudah mulai jelas.” Kata Maulana kemudian.
“Ide bagus. Bekerja cepat Maulana. Cepat atau lambat Kapolda bahkan Gubernur akan turun tangan. Percayalah dua atau tiga hari nanti, Anggota DPRpun akan turun berbicara tentang kasus ini.” Kata Armin. Maulana diam, Puply City adalah tempat yang sangat terkenal. Maulana yakin pembunuhan ini akan menjadi sorotan publik.
“Pak, Laporan dari rumah sakit  sudah keluar.” Tiba-tiba Alfred muncul dari pintu ruangan Maulana. Armin dan maulana menatap Alfred, lalu keduanya berpandangan sejenak.
“Saatnya gelar kasus, Maulana. Tunjuk empat orang anak buahmu menjadi tim penyidik.” Armin memerintah. Maulana mengangguk. Mereka bertiga keluar dari ruang kerja Maulana. Menuju ruang rapat.
“Pak, redaktur Suara wedangan menelpon.” Seorang polisi Humas kriminal umum yang bertugas menerima telpon call centre  tiba-tiba bersuara ketika mereka melewati ruangan besar tempat para polisi berkumpul. Armin dan Maulana saling menatap.
“Apa saya bilang, Berita ini akan menjadi sasaran empuk Media.” Kata Armin pada Maulana.
“Suruh wartawan datang ke kantor polisi pukul sebelas.” Perintah Armin, kepada polisi Humas itu. “Sudah berapa surat kabar yang menelpon?” Tanya Armin lagi.
“Sudah Lima, Pak! Salah satunya surat harian ibu kota.” Kata petugas humas itu lagi. Hebat, bahkan sudah sampe di ibu kota, pikir Maulana ngeri memikirkan kekutan berita.
“Pak, beritanya bahkan sudah ada di berita.com.” Seorang polisi lain tiba-tiba berkata. Dia menunjukkan sebua website dangan judul berita. “Seorang PSK ditemukan tewas mengenaskan di tempat pelacuran terkenal di kota Wedangan” Demikian judul artikel internet itu. Maulana menghela napas berat, Selain segera menemukan pembunuh, mereka juga harus bekerja ekstra kuat menghindari wartawan. Semoga hasil outopsi akan membantu penyelidikan, Harapnya dalam hati.
*
Ervita setengah tertidur ketika melihat nama “Bu Lusia” redakturnya di harian Suara wedangan, sebuah harian terkenal di Wedangan. Sudah 10 kali Handphonenya berbunyi, dan mau tidak mau dia mengangkatnya meski dia bukan tipe orang yang mengangkat telpon dan mengorbankan tidurnya yang nyenyak.
“Halo, Bu” Sapanya sopan, wekernya menunjukan pukul 10 pagi. Dia memang berencana tidur sampai siang hari ini. Dia pulang ke rumahnya pukul 3 pagi tadi. Ada sepuluh berita yang harus dia seleasikan untuk koran besok. Dia akan masuk kerja jam lima sore nanti
“Vita, datang ke kantor satu jam lagi. Ada pembunuhan yang harus segera diliput” Suara Lusia terdengar dari kejauhan. Bosnya ini memang tak pernah basa-basi.
“Pembunuhan apa lagi, Bu?” tanya ervita
“Seorang pelacur ditemukan tewas tadi pagi di Puply City.” Jelas Rani singkat. “bergegaslah Vita, saya mau liputan kamu ada di Headline koran besok pagi” tambah Rani lagi. Seketika ngantuk Vina hilang. Dia membayangkan Deadline.
“Baik, Bu!” Jawab Ervita. Lusia segera memutuskan sambungan.
Tiga puluh menit kemudian Ervita sudah siap. Dia menatap bayangannya di cermin, tampak bayangan seorang perempuan muda mengenakan kemeja berwarna gading dan celana jeans biru tua. Tidak lupa dia semprotkan parfum ke seluruh tubuhnya. Ervita berwajah cantik, matanya hitam pekat dan tajam, Rambutnya dipotong pendek model bob membingkai sempurna hidungnya mancung dengan bibir penuh yang selalu diolesi lipstik berwarna coklat muda.  Dia berusia duapuluh tujuh tahun single dan bahagia. Pekerjaanya sebagai wartawati suara Wedangan menyita semua waktunya untuk cinta. Tepatnya dia menyita semua waktunya untuk perkejaan. Dia memilih pasrah pada jodoh, setelah dikhianati mantan tunangannya Rafli setahun lalu. Dia merasa belum berani membangun sebuah hubungan cinta lagi.
Ervita sampai di kantor redaksi harian Suara Wedangan tepat jam sebelas siang. Dia disambut Lusia yang sudah menunggunya.
“Segera ke kantor POLDA sekarang, Polisi berjanji akan memberikan keternagan selengkapannya di sana.” Kata Lusia. Lusia adalah wanita penuh gairah. Waktu adalah uang baginya dia selalu bergerak cepat dan sialnya prinsipnya itu dia terapkan juga pada anak buahnya yang pemalas seperti Ervita. Ervita mengangguk mengerti
“Pergilah ke  kantor POLDA sekarang juga bersama Moris.” Lusia menunjukan seorang fotografer yang juga teman baik Ervita. Dia meringgis ke arah Moris, sama seperti dirinya Moris kelihatannya dipaksa datang ke kantor.
“Polisi telah berjanji akan memberikan keterangan lengkap di sana. Mereka mengatakan untuk tidak mendekat ke Puply City dulu setidaknya dalam tiga hari ini.” Lagi Lusia berkata.
Sepertinya ini pembunuhan yang berat, Pikir Ervita dalam hati. Seketika rasapenasarannya muncul.
*
Gubernur Yusuf sedang bersantai di ruang kerjanya, ketika seorang mengetuk pintu.
“Masuk!” Katanya keras. Gubernur Wedangan berusia limapuluh tahun tetapi masih terlihat bugar. Berbadan tinggi besar dan tak ada satupun lemak di tubuhnya. Dia selalu olahraga teratur setiap sore. Yusuf memimpin Provinsi Wedangan sudah tiga tahun dan dia akan amju kembali di periode ke dua nanti.  Pintu terbuka, Latip dari bagian HUMAS muncul
“Pak, sebaiknya bapak melihat website terbaru harian suara wedangan. Ada berita mengejutkan di sana.” Tanpa basa-basi Latip masuk ke kantor Gubernur dan menunjukan berita di sebuah komputer tablet. Yusuf tercengang membaca berita itu.
Pembunuhan di puply city! Ini adalah masalah serius.
“Media akan berpesta pora dengan pembunuhan ini besok.” Katanya pelan.
“Beritahu Kapolda Wedangan, saya ingin bicara.” Katanya kemudian.
Tiba-tiba rasa was-was muncul di hati Yusuf. Pembunuhan di Puply City! ini bukan berita baik baginya.
*
(1760 kata)


3 comments: